Sejarah berharga yang diabadikan dalam alquran sebagai kisah nyata manusia pertama, bapak seluruh manusia di muka bumi ini menggambarkan tentang pertanyaan para malaikat kepada Allah Ta‘ālā. Pertanyaan yang bukan untuk menentang kehendak Allah Ta‘ālā tentunya, karena sifat seluruh malaikat adalah tidak pernah bermaksiat terhadap perintah Allah Ta‘ālā dan senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Allah Ta‘ālā berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ. وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ. قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” “Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Al-Baqarah (2): 30-32. (quran.kemenag.go.id, 2020).
Budi ashari mengatakan bahwa dalam ayat-ayat ini disampaikan beberapa syarat yang dengannya manusia dapat menjadi khalifah di muka bumi. Pertama adalah senantisa bertasbih dengan memuji Allah Ta‘ālā dan mensucikan-Nya. Syarat ini menjadi pertanyaan sekaligus pernyataan dari para malaikat, mengapa Allah Ta‘ālā menjadikan makhluk lain sebagai khalifah di bumi padahal mereka senantiasa bertasbih kepada Allah Ta‘ālā. Sedangkan syarat utama lainnya yang menjadikan manusia khalifah di bumi adalah dengan memiliki ilmu. (Budi Ashari, Ujian Nabi Adam ‘alaih al-salām, 2020).
Salah satu keutamaan yang diberikan oleh Allah Ta‘ālā kepada nabi Adam ‘alaih al-salām adalah ilmu. Bagaimana Allah Ta‘ālā mengajarkan langsung kepadanya tentang nama-nama benda yang para malaikat pun tidak mengetahuinya. Sebab ilmu inilah manusia ditinggikan derajatnya oleh Allah Ta‘ālā di hadapan seluruh malaikat. Ilmu mampu membawa seseorang memasuki era baru dalam hidupnya. Dengan ilmu masyarakat di sebuah negara mampu melangkah untuk meninggalkan sebuah peradaban menuju peradaban yang lebih gemilang. Dengan ilmu pula manusia dapat memimpin dunia dan menjadikan dunia seolah berada penuh dalam kekuasaannya.
Seseorang yang telah memberikan ilmunya kepada orang lain siapapun mereka, berarti telah memberikan pelita untuk kehidupan seluruh manusia. Ilmu merupakan cahaya yang mampu menerangi kehidupan manusia. Akan tetapi ilmu yang dimiliki oleh seseorang bak pisau bermata dua. Ilmu mampu mengangkat seorang manusia sampai derajat yang tinggi nan mulia, akan tetapi dengan ilmu pun manusia dapat terjerumus ke dalam lembah kehinaan.
Seperti apakah ilmu yang wajib bagi dikuasai atau dicari oleh seorang manusia, yang dengan ilmu tersebut dapat membawanya kepada derajat kemuliaan seorang manusia. Allah Ta‘ālā berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.” Fatir (35): 28. (quran.kemenag.go.id, 2020).
‘Abdullah ’ibn ‘Abbās mengatakan bahwa ulama (orang-orang yang alim) adalah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah Ta‘ālā Maha Berkuasa atas segala sesuatu. ‘Abdullāh ’ibn Mas’ūd mengatakan bahwa ilmu bukanlah dengan banyaknya seseorang mengetahui hadis akan tetapi yang dimaksud dengan ilmu adalah tingginya rasa takut kepada Allah Ta‘ālā. al-Hasan al-Başri mengatakan bahwa seorang yang berilmu adalah orang yang takut kepada Allah Ta‘ālā. (’Ismā‘īl ’ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, 1999).
Serangkaian tafsir yang menjelaskan tentang makna dari seorang yang alim atau kategori para ulama adalah mereka yang takut kepada Allah Ta‘ālā. Dengan demikian bahwa ilmu yang bermanfaat bagi seseorang adalah ilmu yang mampu membuat seseorang lebih takut kepada Allah Ta‘ālā lebih bertakwa kepada-Nya dan takut untuk terjatuh ke dalam kemaksiatan. Ilmu akan menjadi benteng bagi seorang manusia untuk tidak melakukan kesalahan dan dosa. Jika ilmu yang berada pada diri seseorang justru membawa dirinya kepada kesombongan, mudah untuk berbuat dosa, bahkan ringan berlaku zalim terhadap manusia lainnya maka ketahuilah apa yang dia dapatkan bukanlah sebuah ilmu.
Harga sebuah ilmu yang kita dapatkan begitu tinggi dan mulia bersama dengan semakin tingginya rasa takut kita kepada Allah Ta‘ālā. begitupun sebaliknya ilmu tersebut dapat menjadikan rendah dan hinanya seseorang bahkan tidak dikatakan seorang yang berilmu ketika mudah untuk bermaksiat kepada Allah Ta‘ālā. Siapapun kita dapat dengan mudah mengukur sebuah ilmu yang ada pada diri kita saat ini, sejauh mana ilmu tersebut bermanfaat di dalam kehidupan kita sehingga menumbuhkan rasa takut kita kepada Allah Ta‘ālā. Atau sebaliknya, selama ini justru kita menimba ilmu yang hanya semakin menjauhkan kita dari beribadah kepada-Nya. Semoga Allah Ta‘ālā memberikan kita ilmu yang bermanfaat, ilmu yang senantiasa dapat menumbuhkan rasa takut dan takwa kepada-Nya.